Cinta yang bagaimana ?


cinta yang bagaimana

CINTA yang bagaimana yang engkau inginkan aku untuk melakukan itu padamu …??

Apakah CINTA yang mengajarkan tentang kearifan dan kebaikan, sebagaimana ibunda terhadap buah hatinya yang selalu mengajarkan kebajikan..

Apakah CINTA yang selalu teriring langkah keihlasan dan ketulusan, mencintai sepenuh dan sesungguh hati..

Apakah CINTA yang yang sederhana, menerima keadaanmu apa adanya, mencintaimu dengan adanya diriku yang apa adanya..

Apakah CINTA yang penuh pengertian dan kesadaran, mengerti apa yang engkau mau tanpa engkau minta, memahami engkau tanpa engkau tuntut aku untuk memahamimu..

Apakah CINTA yang penuh kasih dan sayang, yang mendamaikan engkau saat gelisah menggejolak hatimu, yang memberimu rasa nyaman dan ketenangan..

Cinta yang bagaimana ?
Bisikan perlahan kepadaku sebelum malam nanti cintaku dibeli oleh mimpi.

 

Jepara, 04 sept 2011

Apa maumu ?


marahKau kira telah tawar hatiku ?
Kau sangka bahwa pudar hatiku ?
Juga kau menerka jika hilang sudah rasaku ?

Ah, harusnya bisa terbaca maksud
Agar mengerti kehendak ingin kubangun istana untukmu
Tapi, salah kau artikan sikap
Ahirnya putus harap

Dan terserah !
Itu yang akhirnya sering sengaja terucap
Celetukmu berulang kesal,
Cetusmu kecut menuntut Tuhan
Bahkan kau salahkan !

Jika cita kau tabur untuk bunga kau damba
Mengapa justru mematah ranting sebelum sempat tercium wewanginya

Lantas apa yang sungguh kau mau ?
Jika sudah seperti ini …

Jepara, 02 Februari 2012

tetntang bidadari

Bagaimana Dengan Bidadari


Hak cipta tulisan ini ada pada alamat blog Baiquni.net

tetntang bidadari

Lelaki itu berdiri di depanku. “Bagaimana dengan bidadari?” tanyanya membuka kata.

Aku terhenyak, baru-baru datang dalam ruang tanpa dimensi, dia malah bertanya itu. Aku diam tak menjawab pertanyaannya. Bagiku, jawaban atas pertanyaan itu bukanlah sekarang, ketika akupun belum dapat menentukan sosok bidadari itu.

“Mengapa diam?” desaknya.

Bidadari terakhir bagiku adalah “dia“, namun kami telah lama tidak saling berkirim kabar. Aku yang memulai atau dia dalam episode diam itu. Teramat lama hingga akupun lupa.

“Dia” yang terakhir adalah yang mengajarkan aku sujud disepertiga malamku, setelah “dia”, aku tak lagi menemukan bidadari. Akupun teramat malu menyapanya lagi, kondisiku tidaklah seperti dulu. Aku yang sekarang adalah aku dalam kefuturan yang hebat. Aku yang menjadi suatuambigu.

Pertanyaannya membuat akupun bertanya, “bagaimana “dia” bidadariku? Telahkah dia menemukan malaikat bagi hatinya, atau masih adakah ruang untukku menyapanya?”

Tersadar, akupun mengurung niat. Punggungku belum lagi tegak, belum lagi sesuai janjiku. Tunggulah nanti, ketika punggungku sudah tegak aku akan melamar, apakah engkau bidadari yang akan kulamar, ataukah yang lain.

Aku mulai mengerti maksud kedatangan lelaki itu. Pertanyaannya sebenarnya bukanlah, “bagaimana bidadari?” tetapi bagaimana dengan punggungku. Sudah tegakkah seperti yang kudampa, sehingga kelak akan lebih mudah aku mengikat kata.

Bagiku, cinta bukanlah sesuatu yang mutlak. Aku memilih rusukku bukan karena aku dalam keadaan cinta, namun aku memilih seseorang yang mampu berjalan bersamaku menegakkan punggung anak-anakku kelak. Seseorang yang menjadi jalan ketika aku mulai melenceng, bukan seseorang yang akan terus diam dibebek cinta ketika aku mulai melupakan Tuhan.

Namun aku terlalu takut. Takut jika Tuhan memilihkan seseorang yang setara denganku, karena aku tahu betapa jahilnya diriku ini. Semoga nanti, seseorang itu, seseorang yang akan menjadi sandaran bagi jantungku adalah seseorang di atasku, seseorang dengan kemuliaan jiwa dan ketulusan yang sempurna. Seseorang yang mampu menjadi sederhana.

Satu inginku. Kelak bidadariku adalah seorang wanita sederhana.

Selaksa hati


selaksa hati

:Ani Hilma

angin – angin berasap arang gema berguruh
membungkus tawang hati rendah berharap
meranjat lamun dalam senyum kau rayu aku
waktu mencecah capai langkah terparuh,
retak terurai …
terjerahap aku di lembah cinta pujangga

harusnya logika sadar membenci
sebab kau tak cukup bisa menafsir isi dadaku
sayangnya,
hati bicara kehendak agar tetap mencintaimu

” Note : susunan bahasa dari puisi  yang asli telah ditata ulang “

Baru Saja Aku Bilang Cinta


Baru saja aku bilang “cinta”
Lagakmu acuh seperti paling agung
Menghindar merasa kau kuasa
Padahal sadar kau takut “jatuh cinta”
Dan lebih kau pilih diam tak mau tahu
Tak bersapa saat persimpangan mata

Belum lagi aku bilang “nikah”
Seperti apa lagakmu nanti
Mungkin kau akan bersembunyi
Di bawah rerumputan liar
Mungkin pula teriakmu tak bersuara
Atau mungkin kau akan gantung diri

Ach…
Harusnya kau tahu
tak benar2 ku ucap kata “cinta” itu
apalagi “nikah” ..???
hanya kau yang terlalu besar hati
terlalu merasa paling “cantik”

dilarang copy paste bung...!!!