Bidadari – bidadariku


bidadari bidadari ku

:Ali Zaenal Albar

Bidadari-bidadari hari ini tertaut pandangannya pada danau kebebasan dan persamaan. hal baru seru mereka. dari kahyangn kemuliaan, biasan kilau danau menyilalukan mata mereka. entah hanya fatamorgana entah realita. tanpa izin rasio, mereka mencoba membuktikanny dengan turun langsung ke bumi.

berkas cahaya warna-warni padu-pelangi mengiringi segenap kepakan selendang kemuliaan mereka. sesampainya di danau itu, ada syarat yang harus mereka iyakan. jiika ingin menikmati segarnya mandi di telaga kebebsan itu. TANGGALKAN SELANDANG-SELENDANG PENGANTAR\KENDARAAN MEUJU KEMULIAAN KAHYANGAN. demi kilau kebebasan, tak pelak mereka pun rela melucutinya, tentunya tanpa melalui celah filter logika.

entah siapa yang membuat undang-undang seperti itu. Alamkah, atau ideologi jejeka TARUB, yang terlumuri nafsu birahi?, entahlah…

Yang pasti. hari ini tidak hanya satu dari tujuh bidadari yang tereksploitasi kepolosan dan kelembutannya dengan seribu-satu buaian kata cinta serta janji palsu TETARUB, selendang pengantar kemuliaan nun purna, tergadaikan oleh jejaka tak bermoral.
dan kini tujuh-tujuhnya pun terbuai sekaligus terkoyak dan tertikam kenistaan nun hina oleh kilau danau ideologi, imajiner, buatan segelintir insan bermoral tarub. insan?, lebih tepatnya, mereka yang mulai meninggalkan keinsanannya.

hi, bidadari-bidadariku…!

rebutlah kembali selendang-selndang hijab pengantar kemuliaan, dari tangan-tangan jejaka-jejaka bermoral tarub.
sebaliknya. terbuailah kalian dengan kilau-indah gaun suci FATIMAH, seraya mencoba tuk mengenakannya. jangan terbuaidengan laafadz-lafadz cinta tanpa ruh, dari mulut-retorik mereka.

kemaren, sekarang dan kelak Bunda ZAHRA denga sabar akan menunggu putri-putrinya tuk masuk surga kahyangan bersama beliau, seraya terus-menerus di temani kecemasan mendalam akan hadirnya kalian, bidadari-bidadari yang lupa diri. kegelisahan Bunda ZAHRA begitu jelas dengan peraduannya kepada ayah(pangeran dari arab untuk semesta, MUHAMMAD), suami(pujangga, sekaligus filosof sepanjang masa, ALI), serta kedua pangeran muda surga beliau(pangeran yang terampas singgah-sananya, HASAN, dan pangeran yang terabaikan dan terbunuh, HUSAIN), tuk mencari dan menjemput kalian, yang tersesat di belantara kebebasan ini, bahkan, sekalipun kalian mulai tergelincir dalam belukar-berapi nun menakutkan.

 

Jepara, 19 Mei 2010

Ku pahat wajah Tuhan


memahat wajah tuhan

:Ali Zaenal Albar

 

Di belakang rumah kayu beratapkan welit, seorang pemahat dudk termangu demi melihat sebatang kayu yang akan di garapnya. pemahat mulai memikirkan pola apa yang akan di garapnya.

sesaat pemahat memandangi langit yang begitu indah, “karya yang begitu indah” suara hati meneduhkan jiwanya.
“MAHAKARYA, ya aku ingin membuat relif agung, dan objeknya harus AGUNG…!!” antusiasme yang tingggi mendorongnya lekas-lekas menyiapkan 35 varian pahat, beserta palu kayu tu’ memukulnya.
kini pemahat menaruh bongkahan kayu di atas meja kerjanya. dalam angannya ia meminta izin pada objeknya. “gusti… ku ingin memahat WAJAHMU, betapa indah, dan cerahnya langit yang kau bentangkan, dan betapa indahnya kebun-kebun yang kau hamparkan. dan itu menunjukkan betapa MAHA INDAHNYA yang menciptakan ini semua. YA. GUSTI… ku ingin memahat wajahMU”

pemahat hanya mempunyai sedikit pola gambaran tentang wajah tuhan.
“tuhan tidaklah sama dengan ciptaanNYA” setidaknya itu yang pernah ia dengar dari guru spiritualnya.
pemahatpun memulai pekerjaannya dengan menggarap bagian atas terlebih dahulu. Ya. tentunya itu bagian rambut tuhan “model rambut yang seperti apa ya? yang sama sekali berbeda dengan model rambut makhluknya?”
sejenak pemahat mencari-cari gambaran, hingga akhirnya melanjutkan garapan ke bagian jidat tuhan. pertanyaan serupa pun mulai menggelyuti benaknya. dan “selebar apa jidat TUHAN?” mengakhiri pertanyaan tentang pola jidat tuhan. kali ini pemahat memerlukan waktu yang cukup lama sebelum akhirnya ia melanjutka ke bagian matanya.
Siti… YA… pemahat teringat betapa indah mata Sitii… “duh gusti alisnya bak bulan sbit, kedua bola matanya memancarkan cahaya, dan tatapannya gusti… bak pisau yang siap menyayat hati setiap pemuda.” pemahat malah tenggelam dalam keindahan mata Siti.
dengan sigap pemahat melanjutkan garapannya. kali ini pemahat meluangkan banyak waktu untuk menggarapnya, karena “memahat mata Siti aja aku dah kesulitan” batinnya.
hingga akhirnya pemahat merampungkan garapannya, setelah susah payah ia tenggelam dalam bayang-bayang bibir dan dagu si Siti lagi, dan beberapa orang lain yang ikut serta dalam audisi mencari pola bibir dan dagu tuhan.

pemahat meletakkan pahat dan palu kayu di sebelahnya. sambil memijat leher dan bahunya sendiri pemahat melihat hasil akhir garapannya. dan “selesa sudah garapanku” pemahat tersenyum.
ya tersenyum. yang entah dalam artian apa senyumannya itu, puaskah? atau malah tersenyum getir demi melihat WAJAH TUHANnya.
kau perhatikan seja hasil garapannya!!! dan lihatlah………..

“BONGKAHAN KAYU ITU TA’ TERGORES PAHAT SEDIKITPUN”

 

Jepara, 29 September 2010

Tuhan Main Gila


tuhan

:Ali Zaenal Albar

” Tuhan tuh minta di deketin…”
Entah apa yang tersirat dalAm tu kalimat…

Bukannya Tuhan itu dekat? teramat malah! bahkan lebih dekat dari urat nadi kita sendiri…!

Entahlah… tetapi sekarang yang kurasakan, setiap kali ku coba tuk berpaling dan menggantiNYA dengan yang lain, seakan ada wajah TUHAN samar-samar terus membayang. Seakan ingin di perhatikan, meskipun diri ini juga tertarik tuk dekat dengannya, demi melihat belukar-berduri yang terus menghalangi langkah ini….

“Tuhan tuh kaya’ wanita yang berhijab” satu statement yang keluar dari kawan Tuhan.
Anggapan seperti ini benar juga. Sjenak ku berdamai dengannya…
Keberadaannya dengan cadar semakin membuat kita penasaran, dan tertariklah kita tuk berupaya penuh usaha dami kedekatannya, tuk melihat dengan jelas pesona elok wajahnya…, Entahlah…, Kaya’-kaya’nya Tuhan lagi maen petak umpet ma kita…

Dan yang lebih parah… TUHAN masangin susuk di lsetiap lubuk hati insan, tuk dekat dengannya…

Dan aku pun terjebak dalam PERMAINAN GILA TUHAN

 

Jepara, 01 April 2010

Njeporo-Ku


tugu kartini jepara

:Ali Zaenal Albar

beberapa orang boleh tuli, sebagian manusia boleh buta, dan mereka pun, manusia, boleh mati rasa, tapi hati nurani nun suci ribuan kali berlipat ganda kepekaannya dalam menangkap fenomena yang menggetarkan alam ruh…
Ricuh, gaduh, dan bising. Bumi kartini begitu tinggi frekwensi sumbang laku penduduknya, kaum kartini termakan propaganda makna emansipasi. Yang pada mulanya emansipasi hanya bermarkas di sektor pendidikan, kini terpolitisi dengan kebebasan tak bertanggung jawab dunia barat. Kartini yang pada mulanya begitu gigih ingin menyamakan status dalam penuntutan ilmu, seperti yang telah di konsepkan islam dan terproyeksikan dalam pengkaderan Fatimah oleh adi insan, Muhammad. Gulita jahiliyah perangai badui pun sirna dengan munculnya surya penghacur budaya gelap jahiliyah. Dan baru satu setengah abad yang lalu kepekaan dan kegigihan kartini dengan suara lantang memecah keheningan intelektual kaum hawa, beliau berpeluh-kesah demi terwujudnya persamaan gender dalam mengenyam pendidika. Hasilnya wanita indonesia tercerahkan setelh malam panjang kebodohan. Habis gelap terbitlah terang. Sungguh indah mutiara kata beliau, namun tak seindah laku mereka yang setiap tahunnya mengaku memperingati beliau namun tak mengabadikannya dengan menjaga kehormatan intelektual penjaga kesucian kaum hawa…
Ya, mereka malah sibuk mengeksiskan diri bukan dengan intelektual perjuangan kartini, melainkan sensualitas jasad hina nafsu hewani.
Bodoh, pura-pura bodoh, dan acuh. Sekali lagi, kartini bukan berkeluh-payah demi emansipasi yang menjurus ke sisi pengeksploitasia nsensualitas, beliau hanya ingin memuliakan kaumnya dengan intelektual.
Terdengar dan nyata terpampang di bumi ukir kartini, kaumnya berbondong-bondong menanggalkan akal selaras dengan terurainya busana minin pengumbar kehinaan sensualitas. Tak ayal, demi menyadari lingkungan yang begitu sensual, para lelaki hidung-belang tidak jauh-jauh lagi mencari tempat prostitusi, di tanah merah perkampungan pun telah terinjak kaki gemulai wanita “jalang”. Entah dari mana semua itu bermula…?
Bukankah lima abad silam ratu Kencana selaku putri kerajaan bumi ini pernah berkeluh-nanar pada sikap cabul aryo penangsang terhadap wanita bumi pesisir ini…?
Tanpa pengayom beliau linglung tuk berlindung dari penghinaan aryo penangsang dan pengikutnya, beliau lantas terkulai bersila di atas batu granit menanggalkan busan dedaunan dan sutra kemewahan, beriringkan dzikir, beliau haturkan segenap keluh kesahnya tentang penghinaan terhadap kaum hawa bumi ukir ini, kepada pemilik segala urusan.
dikisahkan silih berganti para malaikat menghiburnya. di malam jum’at tepatnya, beliau bertekat menjaga kesucian wanita. satu-dua mengatakan beliau terangkat menjadi bidadari.

entahlah… kaum hawa di bumi ayu jepara kini justru pulas dalam kebodohan dan kenistaan…
SHIMA sang ratu pun mungkin enggah memerintah, jika wanita seperti hewan…

apa salah KARINI….?
apa salah RATU KALINYAMAT, putri sang sunan…?

sehingga perjuangan mereka terasa hampa, tanpa bekas…!

jeparaku, ku iba denganmu…?

Jepara, 10 April 2010

Kosong


diri kosong

:Ali Zaenal Albar

KOSONG. kini semua berubah dan kembali seperti semula, KOSONG. setelah ku meraba dan merasakan betapa kasar dan tajamnya kebun-berduri problematika manusia dewasa ini, dan setelah ku bekali tangan dan setiap inci dari kulitku dengan secarik pengetahuan dan pengalaman minim, ku ingin meratakannya dengan godam besi TEKADku.

KOSONG. seakan semua kembali seperti semuala. belukar-berduri yang akhirnya hanya bisa ku pandang, tanpa sedikitpun mencoba meratakan satu per satu, semampuku. seraya terus dalam penantian datangnya GODAM kekar mukjizat TUHAN. sedikit pun keinginanku tak mampu merealisasikan GODAM besi penghantam dan perata kebun-berduri ini.

IRONIS justru kini ku berupaya tuk menebalkan pelapis jemari dan setiap mili kulitku, dengan menebal dan menguatkan RASIO yang justru semakin meMATIkan sensitifitasku, menyamarkan kepekaan akan nada sumbang jerit payah mereka, dan jelaslah kebenaaran menjadi hal yang paling kabur, hari ini.

Jepara, 2 Juni 2010